Malam itu sekitar pukul setengah
delapan, hari begitu cerah. Keadaan di lingkungan Rahayu Ciporang tampak
seperti biasanya. Orang-orang lalu lalang. Beberapa pemuda dan orang tua
terlihat sedang mengobrol di warung kopi. Beberapa mengobrol di pekarangan
rumah mereka. Udara saat itu sedang. Tidak terlalu dingin maupun panas.
Semuanya tampak seperti hari-hari biasanya.
Namun,
malam itu ada yang berbeda. Seorang wanita yang terbaring di sebuah ranjang,
berjuang antara hidup dan mati. Ia ditemani oleh seorang pria paruh baya.
Perawakannya tidak begitu besar. Ya, pria itu adalah suaminya. Kebahagiaan yang
tiada tara bagi seorang wanita. Wanita itu sedang berjuang untuk menyambut
kebahagiaan menyambut anggota baru keluarga. Kebahagiaan yang akan membuat
sebuah keluarga menjadi lebih hangat dengan kehadirannya. Kebahagiaan yang
tidak bisa tergantikan oleh apapun. Melahirkan.
Terpisah
beberapa rumah dari tempat suami istri itu berjuang, seorang pria dan dua orang
wanita sedang berharap-harap cemas. Mereka semua berdoa agar ibu dan calon adik
mereka selamat. Para wanita tak henti-hentinya berdoa sambil harap-harap cemas.
Begitupun dengan si pria. Ia juga tak henti-hentinya berdoa. Namun, ia menambahkan
doanya. Ia ingin mempunyai adik laki-laki. Ketiga orang itu adalah
kakak-kakakku.
Hari
itu, tanggal 8 Januari tahun 1994. Untuk pertama kalinya aku menatap dunia. Ya,
ibu itu adalah ibuku dan suaminya adalah ayahku. Kebahagiaan terpancar dari
wajah pasangan suami istri itu. Ya, wajah ayah dan ibuku. Saat itu, aku mungkin
belum tahu apa-apa tentang dunia. Tentang keras dan kejamnya dunia. Tentang
suka dan duka. Tentang tawa dan tangis. Namun yang kutahu, aku bahagia lahir
dari rahim seorang ibu yang solehah. Dan lebih dari semua itu, aku bahagia
terlahir sebagai seorang muslim. Semua anggota keluarga menarik nafas
dalam-dalam dan mengucapkan syukur karena aku dan ibuku selamat. Mungkin dari
seluruh anggota keluarga, hanya kakak laki-lakiku yang agaknya sedikit kecewa
karena aku seorang perempuan.
Inilah
aku. Aku lahir dari keluarga yang sederhana. Aku merupakan anak bungsu dari 4
bersaudara. Keluargaku merupakan keluarga yang taat beragama. Aku senang
menjadi bagian dari keluarga ini. Aku bahagia. Aku sangat mencintai mereka.
Khususnya, ayah dan ibuku. Ibu, aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata,
aku mencintainya. Ayah, aku sangat mengaguminya. Beliau lelaki yang soleh.
Beliau bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarga. Aku bangga
mempunyai ayah seperti beliau.
Masa
kanak-kanakku berjalan layaknya anak yang lain. Penuh kebahagiaan. Penuh tawa.
Penuh tangis. Dan tentu, penuh cinta dari keluarga tersayang. Keluargaku
mungkin tak seberuntung keluarga lain. Kami hidup dalam kesederhanaan. Namun,
kami mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kami. Itulah yang membuat
kami tetap dalam lingkaran kebahagiaan. Karena banyak keluarga yang beruntung
secara status dan kedudukan, namun mereka tidak mendapat kebahagiaan. Ya,
mereka mempunyai rumah mewah, mobil yang bagus, pakaian yang mahal, namun wajah
mereka seperti kucing yang kehausan di tengah gurun gobi. Aku dan keluargaku
yakin, kebahagiaan tidak bisa kita dapatkan, kebahagiaan itu diciptakan.
Kitalah yang harus menciptakannya.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar, aku melanjutkan ke jenjang berikutnya. Namun
kali ini, sekolahku agak jauh dari rumah. Aku merasa senang karena bisa membuat
kedua orang tuaku bangga. Aku sekolah di salah satu sekolah terfavorit di
Kuningan. SMPN 1 Kuningan. Banyak teman-temanku yang juga ikut mendaftar ke
sekolah ini namun mereka kurang beruntung. Aku sangat bersyukur dapat melahap
ilmu lebih banyak disini.
Tiga
tahun aku menghabiskan waktu untuk belajar disini. Akhirnya, aku lulus dengan
nilai yang baik. Lagi-lagi, aku senang dapat membuat kedua orang tuaku bangga.
Setelah lulus dari SMP, aku melanjutkan ke SMA. Aku ingin masuk ke SMAN 2
Kuningan. Aku berjuang selama berhari-hari untuk belajar. Aku berjuang agar
bisa masuk ke SMAN 2 Kuningan. SMAN 2 Kuningan merupakan sekolah favorit di
Kuningan. Banyak sekali siswa yang mendaftar ke sekolah ini. Aku agak ragu
dengan kemampuanku. Namun dari sana, aku merubah keraguanku menjadi motivasi
untuk lebih giat belajar dan berdoa. Pada akhirnya, aku dapat masuk ke sekolah
ini. Sekali lagi, aku bersyukur.
Setelah
lulus, aku didera badai dilema. Aku seakan terjebak dalam sebuah terowongan.
Terowongan yang sangat gelap. Seperti yang aku katakan di atas bahwa keluargaku
merupakan keluarga yang sederhana. Saat ini, ayahku sudah semakin menua. Uban
di rambutnya mulai tumbuh agak banyak. Aku sangat ingin melanjutkan
pendidikanku. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku sangat ingin
kuliah.
Saat
itu, aku merasa benar-benar hancur. Ayah tidak setuju jika aku harus kuliah. Ia
berpendapat bahwa aku tidak harus kuliah. Ia mulai lelah untuk membiayai biaya
pendidikan yang melambung tinggi ke awang-awang. Aku sempat kecewa padanya. Aku
kecewa. Kenapa harus aku? Kakak laki-lakiku memang tidak kuliah, lulus SMA ia
langsung kerja. Begitupun dengan kakak wanitaku yang pertama. Setelah lulus, ia
pun langsung kerja. Itupun keinginan mereka. Dulu ayah dan ibuku sempat
menawari mereka untuk kuliah. Tetapi mereka sendiri yang tidak mau. Berbeda
dengan kakak wanitaku yang ketiga, ia dikuliahkan karena ia memang semangat
untuk melanjutkan pendidikannya. Aku juga ingin kuliah karena hari ini sulit
untuk mendapatkan pekerjaan jika hanya menenteng ijazah SMA. Aku benar-benar
marah. Namun marah yang tak terucap.
Tapi
akhirnya aku sadar, ayahku mulai renta untuk membanting tulangnya. Ayahku tidak
bisa bekerja sekeras dulu. Kakak-kakakku sudah menikah. Mereka pun berjuang
untuk keluarganya. Aku hampir putus asa memikirkan biaya kuliah. Aku dilema.
Setelah
mendapat persetujuan dari ayah, aku memutuskan untuk mengikuti Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau kita kenal dengan SNMPTN. Aku mengikuti
seleksi lewat program Bidik Misi. Program itu merupakan program Pemerintah.
Dimana nantinya, jika aku lulus lewat jalur itu, aku tak perlu mengeluarkan
biaya kuliah dan juga biaya hidup hingga lulus kuliah. Itu semua ditanggung
oleh pemerintah. Benar. Aku berharap dapat lulus lewat jalur itu. Aku benar-benar
berharap. Aku mencoba mendaftar ke Universitas Padjadjaran jurusan sosiologi.
Sebenarnya
diawal aku merasa ragu untuk mencobanya. Karena aku sangat sangat menyadari
sainganku seluruh Indonesia yang bukan hanya satu dua orang ataupun ratusan
orang. Tetapi ribuan. Ya, ribuan. Meskipun hatiku ragu, tapi aku berpikir apa
salahnya mencoba?aku tidak mau menyerah sebelum mencoba. Aku tidak mau seperti
itu. Berbekal usaha,semangat dan doa aku tetap melangkah kedepan. Aku ingin
membanggakan keluargaku.
Semua
anggota keluargaku sangat mendukung langkah yang aku ambil. Bahkan ayah, orang
yang tadinya menentangku untuk kuliah pun jadi ikut mendukung. Ya, mungkin
karena ia mengetahui semua itu tidak akan mengeluarkan biaya sepeserpun. Senang rasanya mendapat dukungan dari
keluarga. Mereka merupakan sumber pembangkit semangat diriku. Untuk mengikuti
seleksi, aku harus pergi ke kota Kembang. Bandung. Aku berangkat sendiri
menggunakan angkutan umum. Aku ini seorang yang penakut. Biasanya, aku tidak
berani kemana-mana sendiri. Namun, karena dorongan hati dan semangat yang
membara bagaikan api yang menyala-nyala, aku melangkahkan kaki kecilku
meninggalkan kota tercinta.
Hari
demi hari, aku menunggu hasil test SNMPTN. Tepat 3 minggu kemudian, hasil test
SNMPTN akhirnya keluar. Jantungku berdebar labih kencang dari biasanya. Aku
gugup. Jujur, hati kecilku ragu aku bisa lulus. Akhirnya, jantungku kembali
berdetak normal. Hari-hari berjalan seperti biasanya. Aku kembali hanya bisa
berdiam diri di kamar. Aku gagal.
Lagi-lagi,
aku merasa putus asa. Bukan kegagalan test SNMPTN yang aku tangisi. Namun, aku
takut. Aku terlalu takut. Aku takut ayahku kembali tidak menyetujui aku untuk
kuliah. Aku tetap berpikir positif walaupun keadaan di sekitarku mulai berubah
negatif.
Suatu
hari, kakak iparku menawariku bekerja sebagai staf TU di salah satu SMK di
Kuningan. Aku tertarik. Mungkin inilah ujung dari terowongan itu. Aku berusaha
memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk bisa daftar. Aku berdoa...
Sekolah
itu hanya membutuhkan satu orang. Satu kursi kosong itu berbanding terbalik
dengan dokumen-dokumen berisi lamaran yang menumpuk. Aku ragu bisa lulus. Benar
saja, aku tidak bisa menempati bangku kosong itu karena kepala sekolah di SMK
tersebut menolaku. Aku kembali putus asa. Aku sedih. Aku tak tahu harus
bagaimana.
Setiap
hari aku tak berhenti berdoa meminta yang terbaik untuk hidupku. Dan sungguh tak
disangka, tiba-tiba 3 minggu kemudian kepala sekolah menelponku dan memintaku
untuk datang ke sekolah. Akhirnya, pihak sekolah memberi aku kesempatan satu
bulan untuk bekerja. Jika kerjaku bagus, aku akan diterima dan jika tidak,
gugurlah sudah.
Aku
mencoba bicara pada ayah dan akhirnya ia setuju. Aku mulai semangat lagi untuk
kuliah. Dan aku mulai semangat lagi untuk bekerja. Aku harus bekerja untuk
membiayai pendidikanku. Saat ini, aku bekerja sebagai staf Tata Usaha di SMK
Pertiwi Kuningan. Setiap hari aku menahan batin dan juga lelah. Namun, inilah
perjuanganku untuk menggapai mimpiku.
Sekarang
aku terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di
Universitas Kuningan. Aku memilih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia karena memang aku menyukai sastra.
Di
awal perkuliahan, aku mendapat informasi bahwa ada beasiswa dari provinsi bagi
siswa yang berprestasi ketika SMA. Aku ingin sekali mengikutinya. Namun aku
ragu. “Apakah aku akan berhasil mendapatkan beasiswa itu?” tanyaku dalam hati.
Agak lama aku menunggu hasil
seleksi. Aku ragu bisa mendapatkan beasiswa itu. Tapi aku harus tetap yakin.
Akhirnya, hasil seleksi telah keluar. Aku bahagia sekali karena aku berhasil
mendapatkan beasiswa tersebut. Aku lega. Setidaknya, beasiswa ini agak
meringankan bebanku untuk membiayai kuliah.
Aku
sadar, kehidupan benar-benar keras dan kejam. Pagi sekali aku bangun, mengurusi
pekerjaan rumah, berangkat kerja, selepas pulang kerja aku harus kuliah. Lelah
dan jenuh sering mampir dalam diriku. Namun, aku harus tetap bertahan dari
kejamnya arus kehidupan. Aku mulai sadar betapa luar biasanya ayahku bekerja
membanting tulang demi menghidupi keluarga dan membiayai aku dan kakak-kakakku.
Banyak orang terlena oleh kehidupan. Mereka mungkin akan menaiki helikopter
untuk menyeberangi sebuah padang pasir yang luas. Sedangkan aku hanya mampu
melihat fatamorgana di padang pasir itu. Namun mereka tidak sadar kehidupan itu
pulalah yang akan menikamnya disaat mereka terlena. Aku mungkin tak seberuntung
mereka, namun aku masih memiliki mimpi, harapan dan tujuan. Aku tidak ingin
seperti itu. Aku ingin bekerja keras seperti ayahku. Ayah merupakan inspirasi
bagiku.