Rabu, 29 Januari 2014

Sejarah Kelurahan Ciporang Kabupaten Kuningan




SEJARAH KELURAHAN CIPORANG

Sejarah Ciporang berasal dari dua kata yaitu Ci atau cai dalam bahasa Sunda berarti air dan kata porang. Di Kabupaten Kuningan ada dua desa yang bernama Ciporang, satu lagi berada di Kecamatan Maleber karena berada di sebelah timur, maka untuk membedakannya di sebutCiporang Wetan. []Pemerintahan Ciporang adalah salah satu kelurahan di kecamatan Kuningan, jadi wilayah ini dikepalai oleh seorang lurah. Sebagai aparatur negara lurah dibantu oleh kepala dusun, aparatur kelurahan dan hansip. Satu dusun atau kampung biasanya merupakan satu RW (Rukun Warga) yang membawahi beberapa RT (Rukun tetangga). RW dipimpin oleh Ketua RW dan RT dipimpin oleh Ketua RT. []Geografis Wilayah kelurahan Ciporang berupa dataran rata yang sedikit berkontur. Letaknya yang strategis membuat kelurahan Ciporang dijadikan pengembangan pemukiman penduduk Kuningan dengan adanya Perumnas Ciporang. Keadaan iklim kelurahan Ciporang dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson, dengan temperatur bulanan berkisar antara 18° C - 32° C serta curah hujan berkisar antara 2.000 mm - 2.500 mm per tahun. Pergantian musim terjadi antara bulan November - Mei adalah musim hujan dan antara bulan Juni - Oktober adalah musim kemarau. []Perbatasan Utara Desa Kedungarum Selatan Kelurahan Windusengkahan Barat Kelurahan Cijoho Timur Desa Ancaran []Ekonomi Orang-orang kelurahan Ciporang dikenal sebagai pebisinis ulung, karena masih termasuk wilayah kota di pinggir jalan banyak berdiri ruko-ruko, salon, warnet dan toserba serta jenis usaha lainnya. Rumah Sakit Wijaya Kusumah dan Perumnas yang masih terletak di kelurahan Ciporang memberi andil cukup besar terhadap perkembangan wilayah ini. []Pertanian Seperti daerah lainnya di Kuningan kebanyakan pertanian yang berkembang adalah tanaman padi dan palawija. []Perkebunan Hasil perkebunan yang biasanya dibudidayakan kebanyakan dari jenis buah-buahan seperti: pisang, mangga, rambutan dan juga melinjo. []Demografi Penduduk kelurahan Ciporang berjumlah 6483 orang, terdiri dari: * 3215 orang laki-laki * 3268 orang perempuan Penduduk Ciporang cukup majemuk karena terdapat perumahan (Perumnas) yang ditempati oleh penduduk yang berasal dari luar kota dan berbagai wilayah di Kuningan. 95% beragama Islam dan lainnya beragama Kristen. Dominasi pekerjaan penduduk Kelurahan Ciporang cukup bervariasi dari mualai PNS, wiraswasta, Karyawan, TNI, Polisi, pedagang, petani dan sebagainya. []Pendidikan Sekolah dasar yanga ada di kelurahan Ciporang antara lain: * SDN Ciporang I (terletak di Jl. RE . Martadinata ) * SDN Ciporang II (terletak di Blk. Kantor BAPPEDA ) * SDN Ciporang III (terletak di Jl. Mawar Raya ) []Kesenian Jenis kesenian yang berkembang di kelurahan Ciporang yaitu Longser Sandiwara Sunda []Akses Transportasi Untuk mencapai kelurahan Ciporang dari pusat kota Kuningan tidaklah sulit. Jaraknya dari kota Kuningan kurang lebih 4 km. kelurahan Ciporang dilewati kendaraan dari arah kota Kuningan ke daerah timur seperti Luragung , Lebakwangi, Cidahu, Cibingbin danCiawigebang. Ada dua angkutan umum yang melewati jalan raya kelurahan Ciporang yaitu: * angkot 06 jurusan Pasar baru-Kertawangunan * angkot 10 jurusan Pramuka-KertawangunanHucap Kuningan dan Ketempling Hucap makanan khas kab.kuningan yang terbuat dari ; 1. kupat 2. tahu goreng 3. bumbu kacang 4. goreng bawang harga satu porsi kurang lebih Rp.5000,- biasanya suka di temanin ketempling atau gemlong Ketempling…Kedempling, Itulah Nama lain dari makanan yang terbuat dari tepung singkong ini atau orang kuningan mah nyebutna Gemblong. Untuk gemblong bulat tipi itu bayak diproduksi oleh home industry di Desa Citangtu, Desa Kramatmulya, Desa Cigadung, Kelurahan Purwawinangun, dan Kelurahan Ciporang. Sedangkan untuk jenis Gemblong dengan bentuk bulat gembung kebanyakan di produksi di Kecamatan Ciawi, sehingga lebih sering disebut Gemblong Ciawi. Apalagi kalau lagi lebaran banyak Orang-orang yang mencari makanan ini untuk dijadikan sebagai oleh-oleh khas Kuningan. harga per bungkusnya Rp.10.000.,-

SEJARAH

Ciporang berasal dari dua kata yaitu Ci atau cai dalam bahasa Sunda berarti air dan kata porang. Di Kabupaten Kuningan ada dua desa yang bernama Ciporang, satu lagi berada di Kecamatan Maleberkarena berada di sebelah timur, maka untuk membedakannya di sebut Ciporang Wetan.

PEMERINTAHAN

Ciporang adalah salah satu kelurahan di kecamatan Kuningan, jadi wilayah ini dikepalai oleh seorang lurah. Sebagai aparatur negara lurah dibantu oleh kepala dusun, aparatur kelurahan dan hansip. Satu dusun atau kampung biasanya merupakan satu RW (Rukun Warga) yang membawahi beberapa RT (Rukun tetangga). RW dipimpin oleh Ketua RW dan RT dipimpin oleh Ketua RT.

GEOGRAFIS

Wilayah kelurahan Ciporang berupa dataran rata yang sedikit berkontur. Letaknya yang strategis membuat kelurahan Ciporang dijadikan pengembangan pemukiman penduduk Kuningan dengan adanya Perumnas Ciporang. Keadaan iklim kelurahan Ciporang dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson, dengan temperatur bulanan berkisar antara 18° C - 32° C serta curah hujan berkisar antara 2.000 mm - 2.500 mm per tahun. Pergantian musim terjadi antara bulan November - Mei adalah musim hujan dan antara bulan Juni - Oktober adalah musim kemarau.

Perbatasan

EKONOMI

Orang-orang kelurahan Ciporang dikenal sebagai pebisinis ulung, karena masih termasuk wilayah kota di pinggir jalan banyak berdiri ruko-ruko, salon, warnet dan toserba serta jenis usaha lainnya. Rumah Sakit Wijaya Kusumah dan Perumnas yang masih terletak di kelurahan Ciporang memberi andil cukup besar terhadap perkembangan wilayah ini.

Pertanian

Seperti daerah lainnya di Kuningan kebanyakan pertanian yang berkembang adalah tanaman padi dan palawija.

Perkebunan

Hasil perkebunan yang biasanya dibudidayakan kebanyakan dari jenis buah-buahan seperti: pisang, mangga, rambutan dan juga melinjo.
DEMOGRAFI
Penduduk kelurahan Ciporang berjumlah 6483 orang, terdiri dari:

·                     3215 orang laki-laki
·                     3268 orang perempuan
Penduduk Ciporang cukup majemuk karena terdapat perumahan (Perumnas) yang ditempati oleh penduduk yang berasal dari luar kota dan berbagai wilayah di Kuningan. 95% beragama Islam dan lainnya beragama Kristen. Dominasi pekerjaan penduduk Kelurahan Ciporang cukup bervariasi dari mualai PNS, wiraswasta, Karyawan, TNI, Polisi, pedagang, petani dan sebagainya.

PENDIDIKAN

Sekolah dasar yanga ada di kelurahan Ciporang antara lain:
·                     SDN Ciporang I (terletak di Jl. RE . Martadinata )
·                     SDN Ciporang II (terletak di Blk. Kantor BAPPEDA )
·                     SDN Ciporang III (terletak di Jl. Mawar Raya )

KESENIAN

Jenis kesenian yang berkembang di kelurahan Ciporang yaitu Longser Sandiwara Sunda

AKSES TRANSPORTASI

Untuk mencapai kelurahan Ciporang dari pusat kota Kuningan tidaklah sulit. Jaraknya dari kota Kuningan kurang lebih 4 km. kelurahan Ciporang dilewati kendaraan dari arah kota Kuningan ke daerah timur seperti Luragung , Lebakwangi, Cidahu, Cibingbin dan Ciawigebang. Ada dua angkutan umum yang melewati jalan raya kelurahan Ciporang yaitu:
·                     angkot 06 jurusan Pasar baru-Kertawangunan
·                     angkot 10 jurusan Pramuka-Kertawangunan
·                     angkot 07 jurusan cirendang-Lengkong

Masjid Perumnas Ciporang Termegah Ditingkat Perumahan bernama mesjid Al-Furqon

 


Rabu, 11 Desember 2013

Cerpen 1. "Aku dan Perjuanganku"


Aku dan Perjuanganku
            Malam itu sekitar pukul setengah delapan, hari begitu cerah. Keadaan di lingkungan Rahayu Ciporang tampak seperti biasanya. Orang-orang lalu lalang. Beberapa pemuda dan orang tua terlihat sedang mengobrol di warung kopi. Beberapa mengobrol di pekarangan rumah mereka. Udara saat itu sedang. Tidak terlalu dingin maupun panas. Semuanya tampak seperti hari-hari biasanya.
Namun, malam itu ada yang berbeda. Seorang wanita yang terbaring di sebuah ranjang, berjuang antara hidup dan mati. Ia ditemani oleh seorang pria paruh baya. Perawakannya tidak begitu besar. Ya, pria itu adalah suaminya. Kebahagiaan yang tiada tara bagi seorang wanita. Wanita itu sedang berjuang untuk menyambut kebahagiaan menyambut anggota baru keluarga. Kebahagiaan yang akan membuat sebuah keluarga menjadi lebih hangat dengan kehadirannya. Kebahagiaan yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Melahirkan.
Terpisah beberapa rumah dari tempat suami istri itu berjuang, seorang pria dan dua orang wanita sedang berharap-harap cemas. Mereka semua berdoa agar ibu dan calon adik mereka selamat. Para wanita tak henti-hentinya berdoa sambil harap-harap cemas. Begitupun dengan si pria. Ia juga tak henti-hentinya berdoa. Namun, ia menambahkan doanya. Ia ingin mempunyai adik laki-laki. Ketiga orang itu adalah kakak-kakakku.
Hari itu, tanggal 8 Januari tahun 1994. Untuk pertama kalinya aku menatap dunia. Ya, ibu itu adalah ibuku dan suaminya adalah ayahku. Kebahagiaan terpancar dari wajah pasangan suami istri itu. Ya, wajah ayah dan ibuku. Saat itu, aku mungkin belum tahu apa-apa tentang dunia. Tentang keras dan kejamnya dunia. Tentang suka dan duka. Tentang tawa dan tangis. Namun yang kutahu, aku bahagia lahir dari rahim seorang ibu yang solehah. Dan lebih dari semua itu, aku bahagia terlahir sebagai seorang muslim. Semua anggota keluarga menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan syukur karena aku dan ibuku selamat. Mungkin dari seluruh anggota keluarga, hanya kakak laki-lakiku yang agaknya sedikit kecewa karena aku seorang perempuan.
Esoknya, ibu dan ayahku pulang ke rumah. Rumah sederhana itu berbentuk kotak. Temboknya bercat hijau. Di depannya berdiri tegak pohon mangga yang agak lebat. Di dalamnya terdapat tiga buah kamar tidur dan satu kamar mandi. Selain itu, ada pula dapur, ruang keluarga dan ruang tamu. Ruang tamunya tidak terlalu besar. Tapi, disitulah kakak-kakakku menunggu ayah, ibu dan anggota baru mereka. Wajah mereka sumringah menyambut kami. Aku.
Inilah aku. Aku lahir dari keluarga yang sederhana. Aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Keluargaku merupakan keluarga yang taat beragama. Aku senang menjadi bagian dari keluarga ini. Aku bahagia. Aku sangat mencintai mereka. Khususnya, ayah dan ibuku. Ibu, aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, aku mencintainya. Ayah, aku sangat mengaguminya. Beliau lelaki yang soleh. Beliau bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarga. Aku bangga mempunyai ayah seperti beliau.
Masa kanak-kanakku berjalan layaknya anak yang lain. Penuh kebahagiaan. Penuh tawa. Penuh tangis. Dan tentu, penuh cinta dari keluarga tersayang. Keluargaku mungkin tak seberuntung keluarga lain. Kami hidup dalam kesederhanaan. Namun, kami mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kami. Itulah yang membuat kami tetap dalam lingkaran kebahagiaan. Karena banyak keluarga yang beruntung secara status dan kedudukan, namun mereka tidak mendapat kebahagiaan. Ya, mereka mempunyai rumah mewah, mobil yang bagus, pakaian yang mahal, namun wajah mereka seperti kucing yang kehausan di tengah gurun gobi. Aku dan keluargaku yakin, kebahagiaan tidak bisa kita dapatkan, kebahagiaan itu diciptakan. Kitalah yang harus menciptakannya.
Aku mengenyam pendidikan dasar masih di lingkungan tempat kelahiranku. Aku mulai mengenal banyak teman di lingkungan sekolah. Aku senang berada di sekolah ini. Guru-guru dan teman-teman disini begitu baik. Aku banyak mendapat ilmu disini. SDN 1 Ciporang, itulah sekolahku saat kecil.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, aku melanjutkan ke jenjang berikutnya. Namun kali ini, sekolahku agak jauh dari rumah. Aku merasa senang karena bisa membuat kedua orang tuaku bangga. Aku sekolah di salah satu sekolah terfavorit di Kuningan. SMPN 1 Kuningan. Banyak teman-temanku yang juga ikut mendaftar ke sekolah ini namun mereka kurang beruntung. Aku sangat bersyukur dapat melahap ilmu lebih banyak disini.
Tiga tahun aku menghabiskan waktu untuk belajar disini. Akhirnya, aku lulus dengan nilai yang baik. Lagi-lagi, aku senang dapat membuat kedua orang tuaku bangga. Setelah lulus dari SMP, aku melanjutkan ke SMA. Aku ingin masuk ke SMAN 2 Kuningan. Aku berjuang selama berhari-hari untuk belajar. Aku berjuang agar bisa masuk ke SMAN 2 Kuningan. SMAN 2 Kuningan merupakan sekolah favorit di Kuningan. Banyak sekali siswa yang mendaftar ke sekolah ini. Aku agak ragu dengan kemampuanku. Namun dari sana, aku merubah keraguanku menjadi motivasi untuk lebih giat belajar dan berdoa. Pada akhirnya, aku dapat masuk ke sekolah ini. Sekali lagi, aku bersyukur.
SMAN 2 Kuningan. Disinilah aku mulai menemukan karakter diriku. Aku mempunyai lebih banyak teman lagi disini. Aku senang, teman-temanku begitu baik. Selain belajar, aku ikut ekstrakulikuler volly untuk menyalurkan hobiku. Sungguh menyenangkan bersekolah disini. Begitu banyak kenangan yang takkan pernah kulupakan.
Setelah lulus, aku didera badai dilema. Aku seakan terjebak dalam sebuah terowongan. Terowongan yang sangat gelap. Seperti yang aku katakan di atas bahwa keluargaku merupakan keluarga yang sederhana. Saat ini, ayahku sudah semakin menua. Uban di rambutnya mulai tumbuh agak banyak. Aku sangat ingin melanjutkan pendidikanku. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku sangat ingin kuliah.
Saat itu, aku merasa benar-benar hancur. Ayah tidak setuju jika aku harus kuliah. Ia berpendapat bahwa aku tidak harus kuliah. Ia mulai lelah untuk membiayai biaya pendidikan yang melambung tinggi ke awang-awang. Aku sempat kecewa padanya. Aku kecewa. Kenapa harus aku? Kakak laki-lakiku memang tidak kuliah, lulus SMA ia langsung kerja. Begitupun dengan kakak wanitaku yang pertama. Setelah lulus, ia pun langsung kerja. Itupun keinginan mereka. Dulu ayah dan ibuku sempat menawari mereka untuk kuliah. Tetapi mereka sendiri yang tidak mau. Berbeda dengan kakak wanitaku yang ketiga, ia dikuliahkan karena ia memang semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Aku juga ingin kuliah karena hari ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan jika hanya menenteng ijazah SMA. Aku benar-benar marah. Namun marah yang tak terucap.
Tapi akhirnya aku sadar, ayahku mulai renta untuk membanting tulangnya. Ayahku tidak bisa bekerja sekeras dulu. Kakak-kakakku sudah menikah. Mereka pun berjuang untuk keluarganya. Aku hampir putus asa memikirkan biaya kuliah. Aku dilema.
Aku sempat putus asa. Namun aku sadar, setiap terowongan pasti mempunyai jalan keluar. Jalan keluar yang memancarkan cahaya menyilaukan. Dengan perlahan, aku mencoba membujuk kembali ayahku. Kali ini, ia menyerah dan mengijinkanku untuk kuliah. Aku senang.
Setelah mendapat persetujuan dari ayah, aku memutuskan untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau kita kenal dengan SNMPTN. Aku mengikuti seleksi lewat program Bidik Misi. Program itu merupakan program Pemerintah. Dimana nantinya, jika aku lulus lewat jalur itu, aku tak perlu mengeluarkan biaya kuliah dan juga biaya hidup hingga lulus kuliah. Itu semua ditanggung oleh pemerintah. Benar. Aku berharap dapat lulus lewat jalur itu. Aku benar-benar berharap. Aku mencoba mendaftar ke Universitas Padjadjaran jurusan sosiologi.
Sebenarnya diawal aku merasa ragu untuk mencobanya. Karena aku sangat sangat menyadari sainganku seluruh Indonesia yang bukan hanya satu dua orang ataupun ratusan orang. Tetapi ribuan. Ya, ribuan. Meskipun hatiku ragu, tapi aku berpikir apa salahnya mencoba?aku tidak mau menyerah sebelum mencoba. Aku tidak mau seperti itu. Berbekal usaha,semangat dan doa aku tetap melangkah kedepan. Aku ingin membanggakan keluargaku.
Semua anggota keluargaku sangat mendukung langkah yang aku ambil. Bahkan ayah, orang yang tadinya menentangku untuk kuliah pun jadi ikut mendukung. Ya, mungkin karena ia mengetahui semua itu tidak akan mengeluarkan biaya sepeserpun.  Senang rasanya mendapat dukungan dari keluarga. Mereka merupakan sumber pembangkit semangat diriku. Untuk mengikuti seleksi, aku harus pergi ke kota Kembang. Bandung. Aku berangkat sendiri menggunakan angkutan umum. Aku ini seorang yang penakut. Biasanya, aku tidak berani kemana-mana sendiri. Namun, karena dorongan hati dan semangat yang membara bagaikan api yang menyala-nyala, aku melangkahkan kaki kecilku meninggalkan kota tercinta.
Sesampainya di kota kembang, aku menuju ke rumah kakak wanitaku yang bekerja disana. Aku senang disambut dengan ramah. Selama 3 hari, aku berjuang mengerahkan segenap kemampuanku untuk menyelesaikan lembaran-lembaran kertas semrawut yang berisi soal-soal SNMPTN.  Totalnya, aku berada di kota kembang selama 5 hari. Setelah selesai test, aku kembali pulang ke kota kuda tercinta.
Hari demi hari, aku menunggu hasil test SNMPTN. Tepat 3 minggu kemudian, hasil test SNMPTN akhirnya keluar. Jantungku berdebar labih kencang dari biasanya. Aku gugup. Jujur, hati kecilku ragu aku bisa lulus. Akhirnya, jantungku kembali berdetak normal. Hari-hari berjalan seperti biasanya. Aku kembali hanya bisa berdiam diri di kamar. Aku gagal.
Lagi-lagi, aku merasa putus asa. Bukan kegagalan test SNMPTN yang aku tangisi. Namun, aku takut. Aku terlalu takut. Aku takut ayahku kembali tidak menyetujui aku untuk kuliah. Aku tetap berpikir positif walaupun keadaan di sekitarku mulai berubah negatif.
Suatu hari, kakak iparku menawariku bekerja sebagai staf TU di salah satu SMK di Kuningan. Aku tertarik. Mungkin inilah ujung dari terowongan itu. Aku berusaha memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk bisa daftar. Aku berdoa...
Sekolah itu hanya membutuhkan satu orang. Satu kursi kosong itu berbanding terbalik dengan dokumen-dokumen berisi lamaran yang menumpuk. Aku ragu bisa lulus. Benar saja, aku tidak bisa menempati bangku kosong itu karena kepala sekolah di SMK tersebut menolaku. Aku kembali putus asa. Aku sedih. Aku tak tahu harus bagaimana.
Setiap hari aku tak berhenti berdoa meminta yang terbaik untuk hidupku. Dan sungguh tak disangka, tiba-tiba 3 minggu kemudian kepala sekolah menelponku dan memintaku untuk datang ke sekolah. Akhirnya, pihak sekolah memberi aku kesempatan satu bulan untuk bekerja. Jika kerjaku bagus, aku akan diterima dan jika tidak, gugurlah sudah.
Akhirnya, aku bekerja. Aku harus berusaha keras untuk membuktikan aku layak diterima. Ruangan kerjaku tidak terlalu besar. Ruangan itu dihuni oleh sepuluh orang. Awalnya, semua orang di tempatku bekerja begitu ramah. Namun, setelah agak lama aku mulai tidak nyaman bekerja disana. Aku tidak akan menceritakan apa yang membuatku tidak nyaman. Yang pasti, setiap hari aku harus menahan batin menghadapi mereka. Aku tak nyaman. Aku sadar, aku harus bertahan untuk tetap bekerja. Karena dengan begitu, harapanku untuk kuliah bisa terbuka kembali.
Aku mencoba bicara pada ayah dan akhirnya ia setuju. Aku mulai semangat lagi untuk kuliah. Dan aku mulai semangat lagi untuk bekerja. Aku harus bekerja untuk membiayai pendidikanku. Saat ini, aku bekerja sebagai staf Tata Usaha di SMK Pertiwi Kuningan. Setiap hari aku menahan batin dan juga lelah. Namun, inilah perjuanganku untuk menggapai mimpiku.
Sekarang aku terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Kuningan. Aku memilih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia karena memang aku menyukai sastra.
Di awal perkuliahan, aku mendapat informasi bahwa ada beasiswa dari provinsi bagi siswa yang berprestasi ketika SMA. Aku ingin sekali mengikutinya. Namun aku ragu. “Apakah aku akan berhasil mendapatkan beasiswa itu?” tanyaku dalam hati.
            Hari itu, 15 januari 2013 merupakan hari terakhir pengumpulan berkas persyaratan untuk beasiswa. Seperti biasa, aku pulang kerja sore hari. Aku sempat putus asa karena satu persyaratan lagi belum aku penuhi. Sekitar pukul lima sore, aku kembali ke kampus untuk menyerahkan berkas persyaratanku. Namun, aku kembali putus asa. Ternyata berkas persyaratannya telah diserahkan ke kampus 1. Aku kuliah di kampus 2. Aku mencoba untuk tetap yakin dan berusaha. Esoknya, aku diantar oleh salah satu teman kerja menyerahkan berkas tersebut. Dan aku pun telah daftar.
            Agak lama aku menunggu hasil seleksi. Aku ragu bisa mendapatkan beasiswa itu. Tapi aku harus tetap yakin. Akhirnya, hasil seleksi telah keluar. Aku bahagia sekali karena aku berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Aku lega. Setidaknya, beasiswa ini agak meringankan bebanku untuk membiayai kuliah.
Aku sadar, kehidupan benar-benar keras dan kejam. Pagi sekali aku bangun, mengurusi pekerjaan rumah, berangkat kerja, selepas pulang kerja aku harus kuliah. Lelah dan jenuh sering mampir dalam diriku. Namun, aku harus tetap bertahan dari kejamnya arus kehidupan. Aku mulai sadar betapa luar biasanya ayahku bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarga dan membiayai aku dan kakak-kakakku. Banyak orang terlena oleh kehidupan. Mereka mungkin akan menaiki helikopter untuk menyeberangi sebuah padang pasir yang luas. Sedangkan aku hanya mampu melihat fatamorgana di padang pasir itu. Namun mereka tidak sadar kehidupan itu pulalah yang akan menikamnya disaat mereka terlena. Aku mungkin tak seberuntung mereka, namun aku masih memiliki mimpi, harapan dan tujuan. Aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin bekerja keras seperti ayahku. Ayah merupakan inspirasi bagiku.
Disinilah aku mulai peperangan dengan kehidupan. Jika aku kalah, aku akan terlempar. Jika aku menang, aku akan bahagia. Disinilah aku sekarang. Aku kuliah sambil bekerja. Lelah terkadang menghinggapiku, terkadang aku juga kurang istirahat. Tapi inilah peperanganku dengan kehidupan. Inilah perjuanganku agar aku menjadi manusia yang lebih baik. Aku sadar, kesuksesan tidak didapat dilihat dari seberapa banyak aku memiliki alat untuk mencapainya, namun kesuksesan didapat dari seberapa banyak aku berusaha. Inilah aku, Ika Sartika.